Senin, 26 Maret 2012 10:00 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Abdul Mannan
Adakah manusia yang bisa bahagia dengan duka? Rasanya tidak mungkin ada manusia yang mau menjadikan duka sebagai suatu kebahagiaan dalam hidupnya. Itulah mengapa banyak orang yang kini rela melakukan kejahatan hanya karena agar dia tidak kehilangan pekerjaan, jabatan, ataupun kehormatan.
Hampir setiap orang menolak yang namanya duka dan berusaha sekuat tenaga untuk hidup bahagia. Akibatnya, tidak sedikit di antara mereka yang bersikap pragmatis, egois, individualis, dan hedonis. Bahkan, mereka mau melakukan apa saja yang penting dia tidak miskin, tidak dikucilkan dan tidak dihukum.
Walaupun kadangkala hatinya menjerit karena letupan-letupan kesadaran yang terkadang muncul akan perilakunya yang telah melanggar aturan Tuhan, mereka tetap saja lebih memilih menjauh dari duka demi hidup bahagia. Ingkar janji, dusta, dan khianat dipaksa menjadi karakter dalam dirinya demi untuk menghindari duka.
Apalagi di zaman sekarang yang himpitan ekonomi begitu berat, kejujuran sudah dianggap bukan masanya lagi, dan korupsi diyakini wajar, sehingga menjadikan sebagian besar umat manusia makin berani menggadaikan imannya. Padahal, kalau dicermati, duka yang mereka hindari dengan cara curang itu, sejatinya adalah jalan tol menuju duka nestapa yang tiada tara.
Duka di dunia hanyalah sementara sebagaimana senang di dunia juga tidak selamanya. Sementara pembalasan Tuhan pasti adanya. Seorang Muslim wajib untuk hidup dengan tidak melanggar aturan Tuhan. Sekalipun terkadang untuk hidup seperti itu harus banyak melakukan pengorbanan, merasakan penderitaan, kesengsaraan, dan duka nestapa yang mendalam.
Tetapi, itulah mahar yang harus kita berikan untuk bisa mendapat kebahagiaan abadi di dalam surga. Apabila kita telah memahami hal ini, insya Allah kita akan bisa menjalani hidup ini tetap bahagia meskipun harus bersahabat dengan duka. Duka sejatinya adalah mahar untuk bahagia.
Hal itulah yang dilakukan oleh Nabi Yusuf AS. Sejak kecil dia hidup tidak dalam kebahagiaan. Dia menjadi anak Nabi Ya’kub yang dibenci oleh saudara-saudaranya dia pun harus rela dilempar ke dalam sumur. Kemudian, dia hidup sebatang kara di negeri orang dengan status sebagai budak belian.
Tak cukup di situ, Nabi Yusuf juga difitnah, hingga harus mendekam dalam penjara. Tetapi, semua itu dilalui dengan nuansa hati yang tetap bersih dari kotoran nafsu. Kebersihan hatinya membuatnya rela di penjara.
“Yusuf berkata, ‘Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh’." (QS Yusuf : 33).
Demikianlah sikap Nabi Yusuf terhadap duka dalam hidupnya. Setiap fase ujian, dilaluinya dengan penuh kesabaran dan harapan akan pertolongan Allah SWT. Hingga ia diangkat derajatnya oleh Allah SWT dengan menjadi pengelola ekonomi di Mesir.
Redaktur: Heri Ruslan
Gamping Lor, Ambarketawang, Gamping, Sleman 55294 Telp. 085 101 496 002 (Hanya untuk telepon/Bukan untuk SMS)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Rabu, 28 Maret 2012
Hidup Bahagia dalam Duka, Mungkinkah?
Senin, 26 Maret 2012 10:00 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Abdul Mannan
Adakah manusia yang bisa bahagia dengan duka? Rasanya tidak mungkin ada manusia yang mau menjadikan duka sebagai suatu kebahagiaan dalam hidupnya. Itulah mengapa banyak orang yang kini rela melakukan kejahatan hanya karena agar dia tidak kehilangan pekerjaan, jabatan, ataupun kehormatan.
Hampir setiap orang menolak yang namanya duka dan berusaha sekuat tenaga untuk hidup bahagia. Akibatnya, tidak sedikit di antara mereka yang bersikap pragmatis, egois, individualis, dan hedonis. Bahkan, mereka mau melakukan apa saja yang penting dia tidak miskin, tidak dikucilkan dan tidak dihukum.
Walaupun kadangkala hatinya menjerit karena letupan-letupan kesadaran yang terkadang muncul akan perilakunya yang telah melanggar aturan Tuhan, mereka tetap saja lebih memilih menjauh dari duka demi hidup bahagia. Ingkar janji, dusta, dan khianat dipaksa menjadi karakter dalam dirinya demi untuk menghindari duka.
Apalagi di zaman sekarang yang himpitan ekonomi begitu berat, kejujuran sudah dianggap bukan masanya lagi, dan korupsi diyakini wajar, sehingga menjadikan sebagian besar umat manusia makin berani menggadaikan imannya. Padahal, kalau dicermati, duka yang mereka hindari dengan cara curang itu, sejatinya adalah jalan tol menuju duka nestapa yang tiada tara.
Duka di dunia hanyalah sementara sebagaimana senang di dunia juga tidak selamanya. Sementara pembalasan Tuhan pasti adanya. Seorang Muslim wajib untuk hidup dengan tidak melanggar aturan Tuhan. Sekalipun terkadang untuk hidup seperti itu harus banyak melakukan pengorbanan, merasakan penderitaan, kesengsaraan, dan duka nestapa yang mendalam.
Tetapi, itulah mahar yang harus kita berikan untuk bisa mendapat kebahagiaan abadi di dalam surga. Apabila kita telah memahami hal ini, insya Allah kita akan bisa menjalani hidup ini tetap bahagia meskipun harus bersahabat dengan duka. Duka sejatinya adalah mahar untuk bahagia.
Hal itulah yang dilakukan oleh Nabi Yusuf AS. Sejak kecil dia hidup tidak dalam kebahagiaan. Dia menjadi anak Nabi Ya’kub yang dibenci oleh saudara-saudaranya dia pun harus rela dilempar ke dalam sumur. Kemudian, dia hidup sebatang kara di negeri orang dengan status sebagai budak belian.
Tak cukup di situ, Nabi Yusuf juga difitnah, hingga harus mendekam dalam penjara. Tetapi, semua itu dilalui dengan nuansa hati yang tetap bersih dari kotoran nafsu. Kebersihan hatinya membuatnya rela di penjara.
“Yusuf berkata, ‘Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh’." (QS Yusuf : 33).
Demikianlah sikap Nabi Yusuf terhadap duka dalam hidupnya. Setiap fase ujian, dilaluinya dengan penuh kesabaran dan harapan akan pertolongan Allah SWT. Hingga ia diangkat derajatnya oleh Allah SWT dengan menjadi pengelola ekonomi di Mesir.
Redaktur: Heri Ruslan
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Abdul Mannan
Adakah manusia yang bisa bahagia dengan duka? Rasanya tidak mungkin ada manusia yang mau menjadikan duka sebagai suatu kebahagiaan dalam hidupnya. Itulah mengapa banyak orang yang kini rela melakukan kejahatan hanya karena agar dia tidak kehilangan pekerjaan, jabatan, ataupun kehormatan.
Hampir setiap orang menolak yang namanya duka dan berusaha sekuat tenaga untuk hidup bahagia. Akibatnya, tidak sedikit di antara mereka yang bersikap pragmatis, egois, individualis, dan hedonis. Bahkan, mereka mau melakukan apa saja yang penting dia tidak miskin, tidak dikucilkan dan tidak dihukum.
Walaupun kadangkala hatinya menjerit karena letupan-letupan kesadaran yang terkadang muncul akan perilakunya yang telah melanggar aturan Tuhan, mereka tetap saja lebih memilih menjauh dari duka demi hidup bahagia. Ingkar janji, dusta, dan khianat dipaksa menjadi karakter dalam dirinya demi untuk menghindari duka.
Apalagi di zaman sekarang yang himpitan ekonomi begitu berat, kejujuran sudah dianggap bukan masanya lagi, dan korupsi diyakini wajar, sehingga menjadikan sebagian besar umat manusia makin berani menggadaikan imannya. Padahal, kalau dicermati, duka yang mereka hindari dengan cara curang itu, sejatinya adalah jalan tol menuju duka nestapa yang tiada tara.
Duka di dunia hanyalah sementara sebagaimana senang di dunia juga tidak selamanya. Sementara pembalasan Tuhan pasti adanya. Seorang Muslim wajib untuk hidup dengan tidak melanggar aturan Tuhan. Sekalipun terkadang untuk hidup seperti itu harus banyak melakukan pengorbanan, merasakan penderitaan, kesengsaraan, dan duka nestapa yang mendalam.
Tetapi, itulah mahar yang harus kita berikan untuk bisa mendapat kebahagiaan abadi di dalam surga. Apabila kita telah memahami hal ini, insya Allah kita akan bisa menjalani hidup ini tetap bahagia meskipun harus bersahabat dengan duka. Duka sejatinya adalah mahar untuk bahagia.
Hal itulah yang dilakukan oleh Nabi Yusuf AS. Sejak kecil dia hidup tidak dalam kebahagiaan. Dia menjadi anak Nabi Ya’kub yang dibenci oleh saudara-saudaranya dia pun harus rela dilempar ke dalam sumur. Kemudian, dia hidup sebatang kara di negeri orang dengan status sebagai budak belian.
Tak cukup di situ, Nabi Yusuf juga difitnah, hingga harus mendekam dalam penjara. Tetapi, semua itu dilalui dengan nuansa hati yang tetap bersih dari kotoran nafsu. Kebersihan hatinya membuatnya rela di penjara.
“Yusuf berkata, ‘Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh’." (QS Yusuf : 33).
Demikianlah sikap Nabi Yusuf terhadap duka dalam hidupnya. Setiap fase ujian, dilaluinya dengan penuh kesabaran dan harapan akan pertolongan Allah SWT. Hingga ia diangkat derajatnya oleh Allah SWT dengan menjadi pengelola ekonomi di Mesir.
Redaktur: Heri Ruslan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
SDIT Jabal Nur Sahabat Alam
SDIT Jabal Nur Sahabat Alam Allah menciptakan alam semesta dengan indahnya. Bumi yang megah dihiasi berbagai macam panorama alam menambah...
-
SD IT Jabal Nur menerima calon siswa baru tahun pelajaran 2018/2019. SYARAT PENDAFTARAN SISWA: 1. Usia minimal 6 tahun per Juli 2018 2...
-
Prestasi Jadi Tradisi. Itulah slogan dari sekolah SD IT Jabal Nur yang terletak di Desa Ambarketawang, Gamping, Sleman...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar